Kamis, 04 Juni 2015

Al-Maqrizi



Hasil gambar untuk almaqrizi




Taqiyuddin Abu Al-Abbas Ahmad bin Abdul Qadir Al-Husaini lahir di Barjuwan, Kairo, pada 766 H[5]. Keluarganya berasal dari Maqarizah, sebuah desa yang terletak di kota Ba’labak. Karena itu, ia lebih banyak dikenal dengan sebutan Al-Maqrizi. Kondisi keluarga yang serba kecukupan membuat Al-Maqrizi kecil harus menjalani pendidikan dengan berada di bawah tanggungan kakeknya, Hanafi ibnu Sa’igh, penganut mazhab Hanafi. Al-Maqrizi muda pun tumbuh berdasarkan pendidikan mazhab ini. Setelah kakeknya wafat pada 786 H (1384 M), Al-Maqrizi beralih ke mazhab Syafi’i. Bahkan dalam perkembangan pemikirannya, ia menjadi condong ke arah mazhab Dzahiri.
Al-Maqrizi merupakan sosok yang sangat mencintai ilmu. Sejak kecil, ia gemar melakukan perjalanan intelektual. Ia mempelajari bermacam disiplin ilmu: fiqh, hadits, dan sejarah, dari para ulama besar yang hidup pada masanya. Di antara tokoh terkenal yang amat mempengaruhi pemikirannya adalah Ibnu Khaldun, seorang ulama besar dan penggagas ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu ekonomi. Interaksinya dengan Ibnu Khaldun dimulai saat Abu Al-Iqtishad ini menetap di Kairo dan memangku jabatan hakim agung (Qadi Al-Qudat) mazhab Maliki pada masa pemerintahan Sultan Barquq (784-801 H).
Saat berumur 22 tahun, Al-Maqrizi mulai terlibat dalam berbagai tugas pemerintahan Dinasti Mamluk. Pada 788 H, Al-Maqrizi memulai kiprahnya sebagai pegawai di Diwan Al-Insya, semacam sekretaris negara. Lalu ia diangkat menjadi wakil qadi pada kantor hakim agung mazhab Syafi’i, khatib di Masjid Jami ’Amr dan Madrasah Sultan Hasan, Imam Masjid Jami Al-Hakim, dan guru hadits di Madrasah Al-Muayyadah. Pada tahun 791 H, Sultan Barquq mengangkat Al-Maqrizi sebagai muhtasib, semacam pengawas pasar, di Kairo. Jabatan tersebut diemban selama dua tahun. Pada masa ini, Al-Maqrizi mulai banyak bersentuhan dengan berbagai permasalahan pasar, perdagangan, dan mudharabah, sehingga perhatiannya terfokus pada harga-harga yang berlaku, asal-usul uang, dan kaidah-kaidah timbangan.
Pada 811, Al-Maqrizi diangkat sebagai pelaksana administrasi wakaf di Qalanisiyah, sambil bekerja di rumah sakit an-Nuri, Damaskus. Pada tahun yang sama, ia menjadi guru hadits di Madrasah Asyrafiyyah dan Madrasah Iqbaliyyah. Kemudian, Sultan Al-Malik Nashir Faraj bin Barquq (1399-1412 M) menawarinya jabatan wakil pemerintah Dinasti Mamluk di Damaskus. Namun, tawaran ini ditolaknya. Hampir 10 tahun menetap di Damaskus, Al-Maqrizi kembali ke Kairo. Sejak itu, ia mengundurkan diri sebagai pegawai pemerintah dan menghabiskan waktunya untuk ilmu. Pada tahun 834 H, bersama keluarga, ia menunaikan ibadah haji dan bermukim di Makah selama beberapa waktu untuk menuntut ilmu serta mengajarkan hadits dan menulis sejarah. Lima tahun kemudian, Al-Maqrizi kembali ke kampung halamannya, Barjuwan, Kairo. Di sini ia juga aktif mengajar dan menulis, terutama sejarah Islam, hingga terkenal sebagai seorang sejarawan besar pada abad ke-9 Hijriyah. Al-Maqrizi wafat di Ibu Kota negara Mesir itu pada tanggal 27 Ramadhan 845 H atau bertepatan dengan tanggal 9 Februari 1442 M.
Al-Maqrizi terletak pada fase kedua dalam sejarah pemikiran ekonomi Islam. Sebuah fase yang mulai terlihat indikasi menurunnya eskalasi kegiatan intelektual yang inovatif dalam Dunia Islam. Dasar kehidupan Maqrizi yang asufistik atau fisuf dan relatif didominasi aktivitasnya sebagai sejarawan Muslim, amat berpengaruh terhadap corak pemikirannya tentang ekonomi. Ia senantiasa memandang setiap soal dengan flash back dan mencoba memotret apa adanya mengenai fenomena ekonomi suatu negara dengan memfokuskan perhatiannya pada beberapa hal yang mempengaruhi naik-turunnya pemerintahan. Hal ini berarti bahwa pemikiran-pemikiran ekonomi Maqrizi cenderung positif. Satu hal yang jarang dan unik pada fase kedua yang notabene didominasi pemikiran yang normatif.
Al-Maqrizi merupakan pemikir ekonomi Islam yang melakukan studi khusus tentang uang dan inflasi. Fokus perhatian Maqrizi terhadap dua aspek ini, tampaknya dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya penyimpangan nilai-nilai Islam yang dilakukan oleh para kepala pemerintahan Bani Umayyah dan selanjutnya.
 
 Semasa, Al-Maqrizi sangat produktif menulis berbagai bidang ,sejarah islam. Buku-buku kecilnya memiliki urgensi yang khas serta menguraikan berbagai macam ilmu yang tidak tidak terbatas pada tulisan sejarah. Sedangkan karya-karya Al-Maqrizi yang berbentuk buku besar, Al-Syayal membagi menjadi tiga kategori. Pertama, buku yang membahas sejarah dunia, Seperti kitab Al-Khabar ’an Al-Basyr. Kedua, buku yag menjelaskan tentang sejarah Islam umum, seperti kitab Al-Durar Al-Mahdi’ah fi tarkh Al-Daulah Al-Islamiyyah. Ketiga, buku yang menguraikan sejah Mesir pada masa Islam, seperti kitab Al-Mawa’izh wa Al-I’ibar bi Dzikr Al-Aimmah Al-Fathimiyyin Al-Khulafa, dan kitab Al-Suluk li Ma’rifah Duwal Al-Muluk.
al-Maqrizi Nama lengkap Al-Maqrizi adalah Taqiyuddin Abu Al-Abbas Ahmad bin Ali bin Abdul Qadir Al-Husaini. Ia lahir di desa Barjuwan, Kairo, pada tahun 766 H (1364-1365 M). Sejak kecil ia gemar melakukan rihlah ilmiah seperti fiqh, hadits, dan sejarah dari para ulama besar yang hidup pada massanya. Tokoh terkenal yang sangat mempengaruhi pemikirannya adalah Ibnu Khaldun (seorang ulama besar, penggagas ilmu sosial dan ekonomi). Pada usia 22 tahun tepatnya pada tahun 788 H (1386 M), Al-Maqrizi memulai kiprahnya sebagai pegawai di Diwan Al-Insya semacam sekretaris negara pada massa pemerintahan dinasti Mamluk. Pada tahun 791 H (1389 M), Sultan Barquq mengangkat Al-Maqrizi sebagai muhtasib di Kairo. Pada tahun 811 H (1408 M), Al-Maqrizi diangkat sebagai pelaksana administrasi wakaf di Qalanisiyah, sambil bekerja di rumah sakit An-Nuri, Damaskus. Pada tahun yang sama, ia menjadi guru hadits di Madrasah Asyrafiyyah dan Madrasah Iqbaliyyah. Pada tahun 834 H (1430 M), ia bersama keluarganya menunaikan ibadah haji dan bermukim di Makkah selama beberapa waktu untuk menuntut ilmu serta mengajarkan hadits dan menulis sejarah. Al-Maqrizi meninggal dunia di Kairo pada tanggal 27 Ramadhan 845 H atau bertepatan dengan tanggal 9 Februari 1442. B. Pemikiran al-Maqrizi tentang Ekonomi Al-Maqrizi berada pada fase kedua dalam sejarah pemikiran ekonomi Islam, sebuah fase yang mulai terlihat tanda-tanda melambatnya berbagai kegiatan intelektual yang inovatif dalam dunia Islam. Dalam pada itu, Al-Maqrizi merupakan pemikir ekonomi Islam yang melakukan studi khusus tentang uang dan inflasi 1. Konsep Uang a. Sejarah dan fungsi uang Menurut Al-Maqrizi, baik pada masa sebelum maupun setelah kedatangan Islam, mata uang digunakan oleh umat manusia untuk menentukan berbagai harga barang dan biaya tenaga kerja. Untuk mencapai tujuan ini, mata uang yang dipakai hanya terdiri dari emas dan perak. Berbagai fakta sejarah tersebut, menurut Al-Maqrizi, mengindikasikan bahwa mata uang yang dapat diterima sebagai standar nilai, baik menurut hukum, logika, maupun tradisi, hanya yang terdiri dari emas dan perak. Oleh karena itu, mata uang yang menggunakan bahan selain kedua logam ini tidak layak sebagai mata uang. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa keberadaan fulus tetap diperlukan sebagai alat tukar terhadap barang-barang yang tidak signifikan dan untuk berbagai biaya kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Dengan kata lain, penggunaan fulus hanya diizinkan dalam berbagai transaksi yang berskala kecil. Penggunaan mata uang emas dan perak tidak serta merta menghilangkan inflasi dalam perekonomian karena inflasi juga dapat terjadi akibat faktor alam dan tindakan sewenang-wenang dari penguasa. b. Implikasi Penciptaan Mata Uang Buruk Al-Maqrizi menyatakan bahwa penciptaan mata uang dengan kualitas yang buruk akan melenyapkan mata uang yang berkualitas baik. Menurutnya, hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh pergantian penguasa dan dinasti yang menerapkan kebijakan yang berbeda dalam pencetakan bentuk serta nilai dinar dan dirham. Konsekuensinya, terjadi ketidakseimbangan dalam kehidupan ekonomi ketika persediaan logam bahan mata uang tidak mencukupi untuk memproduksi sejumlah unit mata uang. Begitu pula, ketika harga emas atau perak mengalami penurunan. c. Konsep Daya Beli Uang Menurut Al-Maqrizi, pencetakan mata uang harus disertai dengan perhatian yang lebih besar dari pemerintah untuk menggunakan mata uang tersebut dalam bisnis selanjutnya. Al-Maqrizi memperingatkan para pedagang agar tidak terpukau dengan peningkatan laba nominal mereka. Menurutnya, mereka akan menyadari hal tersebut ketika membelanjakan sejumlah uang yang lebih besar untuk berbagai macam pengeluarannya. 2. Teori Inflasi Menurut Al-Maqrizi, inflasi terjadi ketika harga-harga secara umum mengalami kenaikan dan berlangsung terus-menerus. Al-Maqrizi membagi Inflasi menjadi dua yatu Inflasi akibat berkurangnya persediaan barang (natural inflation) dan inflasi akibat kesalahan manusia. Inflasi jenis pertama ini juga terjadi di masa Rasulullah dan khulafaur Rasyidin, yaitu karena kekeringan dan pengangguran. Sementara untuk jenis inflasi yang kedua, menurut Al-Maqrizi sama dengan penyebab yang mendasari terjadinya krisis di Mesir, yakni: korupsi dan administrasi pemerintahan yang buruk, pajak berlebihan yang memberatkan petani, dan jumlah fulus yang berlebihan. Ini jelas lebih komprehensif dengan yang dikemukakan oleh Milton Friedman (bapaknya kaum monetaris) yang menganggap bahwa inflasi hanyalah semacam fenomena moneter. Beredarnya fulus yang berlebihan mendapat perhatian khusus dari Al-Maqrizi. Dalam pengamatannya, ternyata kenaikan harga-harga (inflasi) yang terjadi adalah dalam bentuk jumlah fulusnya. Misalnya; untuk pakaian yang sama ternyata dibutuhkan lebih banyak fulus. Akan tetapi apabila nilai barang diukur dengan dinar atau emas, jarang terjadi kenaikan harga. Untuk itulah Al-Maqrizi menyarankan agar sejumlah fulus dibatasi secukupnya saja, sekedar untuk melayani transaksi pecahan kecil. Kajian dampak inflasi menurut Al-Maqrizi dengan membagi masyarakat Mesir menjadi tujuh kelompok strata sosial. Dengan pembagian itu, tampaknya ia ingin melihat segmen masyarakat yang mana yang paling parah terkena dampak inflasi yang menggila itu. Upaya semacam ini merupakan gagasan orisinilnya yang sagat boleh jadi belum pernah dilakukan oleh ilmuwan sebelumnya, antara lain 1)Peguasa dan para pembantunya, 2)para penguasa, pedagang besar dan orang yang hidupnya mewah, 3)golongan menengah dari penguasa dan pedagang besar termasuk kaum prodesional, 4)petani yang umumnya hidup di pedesaan, 5)golongan fakir yang menurut Al-Maqrizi adalah semua fukaha, 6)mahasiswa dan prajurit, 7)para pekerja kasar dan para nelayan, 8)golongan papa dan meminta-minta Setelah membagi strata masyarakat Mesir menjadi tujuh kelompok, Al-Maqrizi kemudian melihat satu persatu kelompok tersebut dan menegaskan intensitas kepedihan dan penderitaan yang dialaminya akibat hyperinflation ini. Golongan pertama, mereka menerima nominal income lebih tinggi, tetapi purchasig power mereka menurun drastis karena real income mereka merosot tajam akibat inflasi. Golongan ini tidak terlalu parah terkena inflasi. Golongan yang kedua yang terdiri dari para pedagang dan penguasa besar ini, menurut Al-Maqrizi, aset mereka mengalami penurunan karena dimakan oleh biaya yang terus membengkak dan inflasi. Golongan yang ketiga yang merupakan kaum profesional mendapat upah yang meningkat secara nominal, tetapi karena melonjaknya harga-harga yang menyebabkan tingkat kehidupannya tetap seperti sebelumnya. Untuk golongan keempat, Al-Maqrizi membaginya menjadi dua kelompok yaitu petani menengah atas dan petani menengah bawah. Kelompok pertama diuntungkan oleh krisis moneter sehingga aset kekayaan mereka meningkat. Sedangkan kelompok yang kedua, sangat dirugikan karena harga yang begitu tinggi tidak sebanding dengan hasil pertanian mereka. Golongan yang kelima yang terdiri dari para guru, fuqaha, mahasiswa dan tentara ini, golongan yang paling menderita dari lima golongan yang pertama. Hal ini menurutnya disebabkan karena pendapatan mereka yang berupa gaji dan upah bersifat tetap. Golongan yang keenam dan ketujuh mereka adalah segmen masyarakat yang tidak saja terparah penderitaannya bahkan kebanyakan dari mereka terutama golongan tujuh mati kelaparan. Jelaslah bahwa bedasarkan penggolongan strata masyarakat Mesir oleh Al-Maqrizi ini dapat disimpulkan bahwa dampak krisis moneter pada masa itu tergantung pada hakikat pendapatan (income) dan kekayaan (wealth) masing-masing golongan. Jika pendapatan bersifat tetap atau meningkat tetapi lebih rendah dari laju inflasi, maka kondisinya parah. Sebaliknya jika pendapatannya meningkat lebih tinggi dari laju inflasi, maka kesejahtraan material mereka meningkat. Begitu juga kekayaan yang berupa uang, meraka juga mengalami kerugian di samping itu mereka juga harus meningkatkan biaya untuk memenuhi kebutuhan yang harganya terus meningkat C. Karya-karya al-Maqrizi Al-Maqrizi mengelompokkan buku-buku karangan dalam empat kategori, yakni: Buku yang membahas beberapa peristiwa sejarah Islam umum, seperti kitab Al-Niza’ wa Al-Takhashum fi ma baina Bani Umayyah wa Bani Hasyim. Buku yang berisi ringkasan sejarah beberapa penjuru dunia Islam yang belum terbahas oleh para sejarawan lainnya, seperti kitab Al-Ilmam bi Akhbar Man bi Ardh Al-Habasyah min Muluk Al-Islam. Buku yang menguraikan biografi singkat para raja, seperti kitab Tarajim Muluk Al-Gharb dan kitab Al-Dzahab Al-Masbuk bi Dzikr Man Hajja min Al-Khulafa wa Al-Muluk. Buku yang mempelajari beberapa aspek ilmu murni atau sejarah beberapa aspek sosial dan ekonomi di dunia Islam pada umumnya, dan di Mesir pada khususnya, seperti kitab Syudzur Al-‘Uqud fi Dzikr Al-Nuqud, kitab Al-Akyal wa Al-Auzan Al-Syar’iyyah, kitab Risalah fi Al-Nuqud Islamiyyah dan kitab Ighatsah Al-Ummah bi Kasyf Al-Ghummah. Diposkan oleh Putri Isna di 8.42.00 PM Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest 1 komentar: Putri Isna OkfaitayaMinggu, April 07, 2013 semoga bermanfaat dan menjadi sebuah kenangan Balas Muat yang lain... Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda Langganan: Poskan Komentar (Atom) Search

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ

Ibnu Abd al-Hakam

Hasil gambar untuk Ibnu Abd al-Hakam


Ibnu Abd al-Hakam, yang menuliskan sejarah awal Mesir dalam .bukunya berjudul Futuh Misr wal Maghrib wa Akh-baruha atau Penaklukan Mesir dan Maghribi. Dalam jilid buku yang sama, ia menceritakan ekspansi Muslim ke Ifrikiya, sebuah provinsi kekuasaan Roma di Afrika. Pada masa berikutnya, muncul sejarawan lainnya dari Mesir, yaitu Ibnu al-Daya, yang meninggal pada 951 Masehi. Salah satu sejarawan pada masa itu adalah Muhyi al-Din Ibn Abd al-Zahir, yang hidup pada 1223 hingga 1292. Ia juga menuliskan biografi penguasa-pen-guasa berikutnya, seperti biografinya Qalaun yang berkuasa pada 1279 hingga 1290 dan putra Qalaun yang bernama al-Ashraf. Ada pula sejarawan lainnya pada masa itu yang juga dikenal sebagai pejuang, yaitu Baibars Rukn al-Din ad-Dawadar al-Mansuri. Sebelumnya, ia berkecimpung di dunia militer dan terlibat dalam sejumlah pertempuran, di antaranya pertempuran dengan pasukan Perang Salib dan Mongol di Suriah, Palestina, dan Asia Kecil. Al-Mansuri ditugaskan ke Alexandria untuk menumpas perompakan terhadap kapal-kapal yang sedang berlayar di wilayah tersebut, yang dilakukan kaum Frank. Al-Mansuri meninggalkan dua karya yang didasarkan pada apa yang dia alami dan saksikan. Buku al-Maqrizi ini berisi tentang sejarah Mesir sejak Sultan Salahuddin dan sedikit uraian pada masa pra-Islam, masa Nabi Muhammad, serta masa empat khalifah dari Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Buwayhid, dan Seljuk. Ia adalah sejarawan asal Tunisia yang lahir pada 1332 dan meninggal dunia pada 1406.

Abu Al Fida

Hasil gambar untuk abu alfida
 


 
 
Dedikasi dan pengabdian sang ilmuwan Muslim bernama Abu al-Fida ini telah diakui oleh peradaban Barat. Tak heran jika namanya diabadikan di sebuah kawah bulan, yakni Abulfeda. "Manusia yang sungguh luar biasa,'' begitu penulis Barat bernama de Vaux memuji sosok sejarawan dan geografer Muslim di abad ke-13 itu.

Ia bernama lengkap Abu al-Fida Ismail Ibnu Ali bin Mahmud al-Malik al-Mu'ayyad Imad Ad-din. Ia adalah seorang ahli sejarah keturunan Kurdi yang sangat legendaris. Abu al-Fida terlahir di kota Damaskus, Suriah pada November 1273 M. Ayahnya, Malik ul-Afdha, adalah saudara dari pangeran Hamah.


Abu al-Fida merupakan keturunan dari Ayyub, ayah seorang panglima hebat pada masa Perang Salib yakni Salahuddin al-Ayyubi. Abu al-Fida terlahir dalam kondisi politik dan keamanan yang tak menentu, menyusul serangan bangsa Mongol ke kota-kota Islam. Pada saat lahir, ayahnya telah diusir dari kerajaan Hama oleh para penyerang dari Mongol yang melakukan invansi kedua pada 1259 di bawah komando Hulagu Kan. Invasi pertama Mongol terjadi pada 1219-1222 yang dipimpin Jenghis Khan.

Meski tumbuh dalam situasi politik dan keamanan yang tak menentu, semangat Abu al-Fida untuk belajar tak pernah surut. Pada masa kanak-kanaknya, ia menghabiskan hampir seluruh waktu bermainnya untuk mempelajari Alquran, hadis dan ilmu pengetahuan umum.

Mengingat kondisi keamanan yang tak menentu, setelah tumbuh menjadi remaja, Abu al-Fida mencurahkan dirinya untuk terjun dalam bidang militer.Ia telah turut angkat senjata membela agama Allah SWT saat melawan para Tentara Perang Salib dari Roma.

Setelah menerima pendidikan, pada usianya yang ke-12, dia sudah berani berjuang melawan tentara Salib bersama ayahnya bersama Penguasa Dinasti Mamluk. Dia juga tercatat ikut berjuang mengambil alih benteng tentara Salib dari Ksatria Markab Hospitaler.

Ketika menginjak usia 16 tahun, Abu al-Fida masih berjuang bersama ayahnya dan sepupunya untuk merebut Tripoli dari tentara salib. Setelah berjuang merebut Tripoli, dia masih berjuang melawan tentara salib dengan pasukan muslim lainnya untuk menaklukan Kastil Roum yang penting untuk mengendalikan kekuasaan di wilayah Sungai Eufrat. Beberapa tahun kemudian, dia berada di bawah perintah Sultan Mamluk Ladjyn berperang melawan orang-orang Kristen di Armenia.

Abu al Fida juga pernah menceritakan kehebatan kisah Sultan Ladjyn yang berasal dari Jerman dan asal-usulnya sebagai keturunan dari Ordo Ksatria Teutonik. Sultan Ladjyn berjuang melawan kaum Kristen di Italia dan melawan orang-orang kafir, kemudian dia datang ke Syria untuk melawan kaum Muslimin, lalu terpesona oleh keagungan agama Islam dan akhirnya masuk Islam. Setela itu, dia bergabung dengan Dinasti Mamluk, dan secara bertahap naik pangkat sampai akhirnya dia menjadi seorang Sultan dan menjadi teman abu al Fida sendiri.

Pada tahun 1309, Abu al Fida berjuang di Armenia melawan pasukan aliansi Mongol-Armenia saat dia baru saja kembali dari perjalanan ziarah ke Mekkah. Lalu pada tahun 1316 dia berada di Kairo Mamluk dan ditunjuk sebagai letnan untuk Sultan. Dua tahun kemudian dia diangkat menjadi Pangeran Hama, dengan demikian dia telah berjuang memulihkan kebesaran nama nenek moyangnya. Abu al Fida juga meriwayatkan kembali kota para leluhurnya supaya dikenang kebesarannya sepanjang masa.

Abu al Fida kemudian kembali lagi ke Mekkah pada tahun 1321, lalu dia pergi melakukan kampanye militer sekali lagi untuk berperang di wilayah Asia Kecil. Saat berada di tengah-tengah kampanye militer ini, Abu al Fida menggunakan sedikit waktunya yang tersisa untuk menulis. Pada tahun 1323, dia kembali ke Hama dan menulis karya geografi. Dia juga banyak memakai waktunya untuk berdiskusi dan belajar, bahkan dia juga sempat melakukan perdagangan. Abu al Fida hidup dengan luar biasa. Seluruh hidupnya dari masa kanak-kanak hanyalah serangkaian kampanye militer, selain itu dia naik haji ke Mekah sebanyak tiga kali, mencurahkan banyak waktu untuk mananam modal, memberikan perlindungan kepada para pelajar, serta menulis.

Pada tahun 1285 Abu al-Fida ikut dalam pertempuran melawan kubu Knights of St John, dan dia juga ikut melakukan pengepungan di wilayah Tripoli, Acre dan Qal'at ar-Rum. Pada tahun 1298 dia bekerja untuk melayani Sultan Mamluk Malik al-Nasir dan setelah menganbdi selama dua belas tahun kepada Sultan Mamluk tersebut, dia mendapatkan jabatan sebagai Gubernur Hama. Pada tahun 1312 dia menjadi pangeran dengan gelar Malik Us Salhn dan pada tahun 1320 dia menerima pangkat secara turun-temurun dengan gelar Sultan Malik ul-Mu'ayyad.

Selama lebih dari dua puluh tahun lamanya ia Abu al-Fida memerintah dalam suasana yang penuh ketenangan dan keindahan. Dia mengabdikan dirinya untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah dan membuat berbagai macam karya yang membuatnya menjadi termasyhur. Dia juga tipoe orang yang suka sekali berkirim surat. Sehingga banyak sekali surat yang datang untuknya. Abu al Fida sendiri meninggal pada puncak kemuliaan dan kekuasaannya di Hama pada tahun 1331.

Meskipun Abu al Fida sangat tertarik dengan ilmu sejarah dan geografi, dia juga aktif mempelajari dengan baik berbagai bidang ilmu lainnya seperti botani dan Materia Mediaca. Dia juga menulis sebuah karya dalam banyak volume tentang obat-obatan yang berjudul Kunash, dan dia juga membuat sebuah buku tentang keseimbangan.

Karya Abu al Fida

Salah satu karya fenomenal Abu al Fida adalah bukunya yang berjudul The Concise History of Humanity (Ringkasan sejarah manusia) atau dalam bahasa Arabnya Tarikhu 'l-Mukhtasar fi Akhbari' l-Bashar yang dia tulis pada tahun 1315, lalu dia lanjutkan penulisan buku tersebut pada tahun 1329. Buku ini selain memuat tentang penciptaan dunia, juga memuat tentang sejarah universal, sejarah pra-Islam dan sejarah Islam pada tahun 1329. Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Perancis dan Inggris.

Abu al-Fida sendiri dalam menciptakan karya-karyanya berdasarkan kepada sumber-sumber kepercayaannya juga pengalaman sendiri sebagai seorang pejuang yang menyaksikan berbagai peristiwa penting dan bersejarah. Dia juga mendapatkan banyak pengaruh dari sejarawan besar di Mosul sebelum dia, yaitu Ibn al-Atsir. The Concise History of Humanity merupakan sebuah karya penting, sehingga banyak yang menuliskan lanjutan dari sejarah tersebut. Beberapa ahli sejarah yang melanjutkan karya Abu al Fida antara lain Ibn al-Wardi pada tahun 1348, Ibn al-Shihna al-Halabi pada tahun 1403.

Karya-karya Abu Al Fida banyak dihargai oleh para orientalis Barat. Bahkan banyak dari karyanya sebagian diterbitkan di Barat, John Cagnier (1670-1740) pernah menerbitkan karya Abu al Fida, begitu pula Reiske. Sehingga karya sejarah Islam banyak dikenal di dunia Barat.

Seperti banyak karya sejarah sebelumnya, termasuk karya-karya Ptolemeus dan Muhammad al-Idrisi. The Concise History of Humanity memiliki sebuah pengantar panjang tentang berbagai macam masalah geografis yang isinya tentang kota-kota utama di dunia. Dalam buku tersebut juga terdapat garis bujur, lintang, iklim, ejaan. Buku tersebut mulai diterbitkan dan diterjemahkan pada awal tahun 1650 di Eropa.

Dalam bukunya dia juga menegaskan bahwa tiga perempat permukaan bumi tertutup dengan air. Beberapa wilayah yang diceritakan dalam buku tersebut antara lain 1, Arab; 2. Mesir; 3. Maghrib; 4. Africa; 5. Spanyol; 6; Pulau-pulau di Mediterania dan Atlantik; 7. Bagian utara Eropa dan Asia; 8 Suriah; 9 Jazirah; 10. Irak'; 11. Khuzistan atau Ahwaz; 12. Fars; 13. Kirman; 14 Sijistan; 15: Sind; 16: India; 17. China; 18 Pulau-pulau di timur; 19 Rum (Asia Kecil); 20. Armenia.

Buku tersebut juga berisi tentang negara termasuk batas-batasnya, keanehan fisik, kehidupan politik, divisi etnis , sopan santun, adat istiadat, monumen, jalan-jalan utama, kota-kota utama, sumber informasi, bujur, lintang, iklim, ortografi, deskripsi singkat. Abu al Fida berusaha keras untuk menetapkan ortografi dan orthophony dari nama-nama tempat. Salah satu aspek yang paling penting dalam karya Abu al-Fida adalah pengamatan bentuk bola bumi.

IBNU HAJAR AL-ASQALANI

Hasil gambar untuk ibnu hajar al asqalani


BIOGRAFI AL-HAFIZH IBNU HAJAR AL-ASQALANI
(12 Sya’ban tahun 773H sd 28 Dzulhijjah 852H)
Pada akhir abad kedelapan hijriah dan pertengahan abad kesembilan hijriah termasuk masa keemasan para ulama dan terbesar bagi perkembangan madrasah, perpustakaan dan halaqah ilmu, walaupun terjadi keguncangan sosial politik. Hal ini karena para penguasa dikala itu memberikan perhatian besar dengan mengembangkan madrasah-madrasah, perpustakaan dan memotivasi ulama serta mendukung mereka dengan harta dan jabatan kedudukan. Semua ini menjadi sebab berlombanya para ulama dalam menyebarkan ilmu dengan pengajaran dan menulis karya ilmiah dalam beragam bidang keilmuan. Pada masa demikian ini muncullah seorang ulama besar yang namanya harum hingga kini Al-Haafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. Berikut biografi singkat beliau:

Nama dan Nashab
Beliau bernama Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar Al-Kannani Al-Asqalani Al-Mishri. (Lihat Nazhm Al-‘Uqiyaan Fi A’yaan Al-A’yaan, karya As-Suyuthi hal 45)

Gelar dan Kunyah Beliau
Beliau seorang ulama besar madzhab Syafi’i, digelari dengan ketua para qadhi, syaikhul islam, hafizh Al-Muthlaq (seorang hafizh secara mutlak), amirul mukminin dalam bidang hadist dan dijuluki syihabuddin dengan nama pangilan (kunyah-nya) adalah Abu Al-Fadhl. Beliau juga dikenal dengan nama Abul Hasan Ali dan lebih terkenal dengan nama Ibnu Hajar Nuruddin Asy-Syafi’i. Guru beliau, Burhanuddin Ibrahim Al-Abnasi memberinya nama At-Taufiq dan sang penjaga tahqiq.

Kelahirannya
Beliau dilahirkan tanggal 12 Sya’ban tahun 773 Hijriah dipinggiran sungai Nil di Mesir kuno. Tempat tersebut dekat dengan Dar An-Nuhas dekat masjid Al-Jadid. (Lihat Adh-Dahu’ Al-Laami’ karya imam As-Sakhaawi 2/36 no. 104 dan Al-badr At-Thaali’ karya Asy-Syaukani 1/87 no. 51).

Sifat beliau
Ibnu Hajar adalah seorang yang mempunyai tinggi badan sedang berkulit putih, mukanya bercahaya, bentuk tubuhnya indah, berseri-seri mukanya, lebat jenggotnya, dan berwarna putih serta pendek kumisnya. Dia adalah seorang yang pendengaran dan penglihatan sehat, kuat dan utuh giginya, kecil mulutnya, kuat tubuhnya, bercita-cita tinggi, kurus badannya, fasih lisannya, lirih suaranya, sangat cerdas, pandai, pintar bersyair dan menjadi pemimpin dimasanya.

Nasiruddin Al-Tusi

Hasil gambar untuk nasiruddin at tusi
 

 Ilmuwan serba bisa. Julukan itu rasanya amat pantas disandang Nasiruddin Al-Tusi. Sumbangannya bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern sungguh tak ternilai besarnya.

Selama hidupnya, ilmuwan Muslim dari Persia itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan beragam ilmu seperti, astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran, hingga ilmu agama Islam.

Sarjana Muslim yang kemasyhurannya setara dengan teolog dan filsuf besar sejarah gereja, Thomas Aquinas, itu memiliki nama lengkap Abu Ja'far Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Hasan Nasiruddin Al-Tusi.

Ia lahir pada 18 Februari 1201 M di Kota Tus yang terletak di dekat Meshed, sebelah timur laut Iran. Sebagai seorang ilmuwan yang amat kondang di zamannya, Nasiruddin memiliki banyak nama. Antara lain Muhaqqiq Al-Tusi, Khuwaja Tusi, dan Khuwaja Nasir.

Nasiruddin lahir di awal abad ke-13 M, ketika dunia Islam tengah mengalami masa-masa sulit. Pada era itu, kekuatan militer Mongol yang begitu kuat menginvasi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai habis tentara Mongol dengan sangat kejam.

Menurut JJ O'Connor dan EF Robertson, pada masa itu dunia diliputi kecemasan. Hilangnya rasa aman dan ketenangan itu membuat banyak ilmuwan sulit untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.

Nasiruddin pun tak dapat mengelak dari konflik yang melanda negerinya. Sejak kecil, Nasiruddin digembleng ilmu agama oleh ayahnya yang berprofesi sebagai seorang ahli hukum di Sekolah Imam Keduabelas.

Selain digembleng ilmu agama di sekolah itu, Nasiruddin juga mempelajari beragam topik ilmu pengetahuan lainnya dari sang paman. Menurut O'Connor dan Robertson, pengetahuan tambahan yang diperoleh dari pamannya itu begitu berpengaruh pada perkembangan intelektual Nasiruddin.

Pengetahuan pertama yang diperolehnya dari sang paman antara lain logika, fisika, dan metafisika. Selain itu, Nasiruddin juga mempelajari matematika pada guru lainnya. Ia begitu tertarik pada aljabar dan geometri.

Ibnu Abi Ushaybi’ah

   bnu Abi Ushaybi’ah adalah seorang ahli kedoktoran / perubatan Muslim Arab dan merupakan orang yang pertama menulis mengenai sejarah kedoktoran / perubatan Arab.
   Nama lengkapnya Muwaffakuddin Abu al-Abbas Ahmad bin al-Kassim bin Khalifah bin Yunus al-Khazraj. Beliau berasal daripada sebuah keluarga doktor. Ayahnya sendiri adalah doktor mata dan lahir di Damsyik pada tahun 590H.
   Pada mulanya beliau belajar di bawah bimbingan beberapa orang guru pada waktu itu, terutama Ibnu al-Baythar, yang mengajarnya mengenai ilmu botani. Manakala bidang kedoktoran / perubatan dipelajarinya daripada ayahnya (meninggal pada 649H/1251m) dan ar-Rahbi (meninggal 631H/1233M). Ilmu yang diperolehnya itu kemudian dipraktikkan di Hospital Nuri Damsyiks dan Hospital Nasiri di Mesir.
   Kemudian pada 634H/1236M, beliau bekerja di bawah pemerintahan Izzuddin Ayhak al-Mu’azzami di Sarkhad. Versi lain menyebutkan bahawa pada tahun 1236M, beliau diutus oleh doktor Saladin ke Mesir dan dilantik mengetuai sebuah hospital di Nasiri. Setahun kemudian beliau menarik diri daripada jawatan tersebut dan memenuhi panggilan untuk bertugas di bawah pemerintahan Kesultanan Damsyik di Salkhad. Di sanalah beliau meninggal dunia pada 668H/1270M.
   Karangan-karangan beliau di dalam bidang kedoktoran banyak ditulis dan kini sebahagian besar telah dinyatakan hilang. Namun, secara sepintas disebutkan dalam bukunya, Uyun al-Anba’ fi Tabakat al-Atibba dan dalam tulisan beberapa buku geografi.
Antara lain yang dapat disebutkan adalah:
1. Isal -at al-Munajjimin
2. At-Tajaril-wa al-Fawil’id
3. Hikayat al-Atibua’ Fi ilajat al-Adwa
4. Ma’alim al-Umam
   Selain karya-karya tersebut di atas, beliau juga banyak menulis syair. Bagaimanapun, karyanya yang paling masyhur ialah Uyun al-Anba’ fi Tabakat al-Atibba (Lives of the Phycians). Karya ini menghimpunkan tulisannya yang berjumlah lebih kurang 380 biografi ahli ilmu kedoktoran yang tidak terkira nilainya kepada sejarah sains Arab.
   Karangannya ini sekali gus menunjukkan betapa Ibnu Ahli Ushaybi’ah rajin menyalin secara harfiah dan meringkaskannya. Kemudian diperjelaskan dan diperkuat dengan bahan-bahan tambahan yang ada.

Asy-Syaikh Ali bin Abdurrahman bin Ali bin Ahmad al-Hudzaifi

   Asy-Syaikh Ali bin Abdurrahman bin Ali bin Ahmad al-Hudzaifi (bahasa Arab: الشيخ علي بن عبد الرحمن بن علي بن أحمد الحذيفي) (lahir di Qarn Auja, al-'Uraidhah Utara, selatan Mekkah pada 1 Rajab 1366 H/22 Mei 1947) adalah Qari' Arab Saudi dan Imam Masjid Nabawi, nasabnya kembali ke keluarga Alu Hudzaifah.

   Syaikh Ali al-Hudzaifi hidup di keluarga yang religus, ayahnya adalah seorang imam dan khatib bagi tentara Arab Saudi. Pertama kali ia belajar dengan guru-guru yang berada di kampungnya, kemudian ia mengkhatamkan bacaan al-Qur'an dibawah asuhan Syaikh Ali bin Ibrahim al-Hudzaifi, dan menghafalkan beberapa juz, sebagaimana ia menghafal dan mempelajari mutun-mutun dalam berbagai ilmu syari'ah.
  • Pada tahun 1381 H, ia masuk Madrasah Swasta as-Salafiyah, di daerah Baljarsy, dan lulus setingkat dengan SMP.
  • Pada tahun 1383 H, ia masuk Ma'had 'Ilmi di Baljarsy kemudian ia lulus pada tahun 1388 H, menyelesaikan studi tingkat SMA.
  • Pada tahun 1388 H, ia masuk Fakultas Syari'ah, Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh dan lulus pada tahun 1392 H
  • Setelah ia lulus, ia menjadi pengajar di Ma'had 'Ilmi di Baljarsyi, adapun pelajaran yang ia ajarkan adalah tafsir, tajwid, nahwu, sharaf dan khat, ia juga menjadi Imam di Masjid Baljarsy
  • Pada tahun 1395 H, ia menyelesaikan studi magisternya di Universitas Al-Azhar
  • Ia menyelesaikan studi doktoral di Universitas Al-Azhar, Jurusan Fikih Program Studi Siyasah Syar'iyyah, dengan judul disertasi Metode hukum yang berbeda dalam syari'at Islam, Studi Perbandingan antar mazhab-mazhab islam

Sheikh Mishary

Hasil gambar untuk sheikh mishary rashid alafasy
Sheikh Mishary bin Rashid Al-Afasy Mishary Rashid Ghareeb atau Mohammed Rashed Al-Afasy adalah Qari Kuwait internasional baru, ia lahir di Kuwait pada 5 September 1976 (Minggu 11 Ramadhan 1396 H).
Ia belajar Quran di College of the Holly Quran dan Studi Islam di Universitas Islam Madinah (Kerajaan Arab Saudi), dalam spesialisasi 'sepuluh bacaan dan terjemahan Al-Qur'an ". Dia telah belajar qiro'ah Quran kepada Sheikh Ahmed Abdulaziz Al-Zaiat, Syekh Ibrahim Ali Shahata Al-Samanodei, dan Cheikh Abdurarea Radwan. Dia terkesan sejumlah ulama besar Quran. Juga, ia telah disertifikasi oleh sejumlah ulama dari Quran. Dia membuat penampilan sering di televisi. Banyak bacaan nya dapat juga ditemukan di YouTube atau MukminTV.
Sebenarnya Sheikh Mishary Al Afasy adalah Imam Masjid Al-Kabir (Grand Masjid) di Kuwait City, dan setiap Ramadhan ia menjadi imam Sholat Tarawih di Masjid ini.
Syekh Alafasy menikah dan memiliki dua anak perempuan dan satu putra. Dia juga dijuluki Abu Nora.